A.
PENGERTIAN NEUROPSIKOLINGUISTIK
Neuropsycholinguistics dibentuk oleh kata neuro, psyche, dan linguistics.
Dalam hal ini perlu dijelaskan kata neuro yang mengandung acuan yang relatif
sama dengan nerve yang berarti “saraf”dan psyche yang berarti pikiran
dan mentalitas. Dalam sistem saraf manusia, otak merupakan pusat saraf
pengendali pikiran dan mekanisme organ tubuh manusia, termasuk mekanisme yang
mengatur pemrosesan bahasa. Menurut Chaer (2003:7), Neuropsikolinguistik
mengkaji hubungan antara bahasa, berbahasa, dan otak manusia.
Neuropsikolinguistik
sebenarnya merupakan golongan dari Neurolinguistik dan Psikolinguistik. Secara
lebih sederhana, Fromkin and Rodman (1989:361) mendefinisikan bahwa
Neurolinguistik adalah kajian mengenai landasan biologis bahasa dan mekanisme
otak yang berperan dalam pemerolehan bahasa (Neurolinguistics is the study
concerned with the bilingual foundation of language and the brain mechanisms
underlying its acquisition and use). Neurolinguistik merupakan rangkaian
disiplin ilmu linguistik, neurologi, dan psikologi. Permasalahan yang menjadi
kajian neurolinguistik mencakup bagaimana struktur representasi tata bahasa
dalam otak? Bagaimana hubungan antara “modul” tata bahasa (leksikan, sintaksis,
fonologi) dan struktur otak? Bagaimana karakteristik mekanisme neuropsikologis
yang mengaktifkan representasi gramatika bagi proses produksi dan pemahaman
ujaran? Apa yang membuat kita mampu menggunakan tata bahasa yang memperhatikan
kemungkinan kombinasi yang secara teoritis tidak saling terkait ketika memori
kerja manusia hanya memiliki kapasitas terbatas? (Banreti, 2007).
Sementara itu,
kebanyakan kalangan ilmuan dan praktis pembelajaran bahasa lebih mengenal
bidang kajian itu sebagai psikolinguistik, meskipun sebenarnya ada unsur
pembedanya. Salah satu definisi psikolinguistik atau yang dipilih menjadi
psikologi bahasa ( psychology of language ) adalah kajian mengenai
faktor psikologis dan neurologis yang memungkinkan manusia memperoleh,
menggunakan, dan memahami bahasa (psycholinguistics or psychology of
language is the study of the psycholinguistical factors that enable humans to
acquire, use and understand language) (http://en.wikipedia.org/wikiPsycholinguistics
diakses tanggal 10 April 2007). Secara lebih konkret, psikolinguistik adalah
kajian tentang proses dan representasi kognitif yang berada di balik penggunaan
bahasa. Psikolinguistik terbagi atas empat bidang kajian, yaitu: (1) Produksi
bahasa; (2) Pemahaman bahasa; (3) Leksikon dwibahasa; dan (4) Perilaku bahasa
yang menyimpang. Psikolinguistik mencakup proses linguistik yang memungkinkan
seseorang menghasilkan kalimat yang gramatikal dan bermakna dari kosakata atau
cara bahasa dan memahami ujaran kata, teks dan lain-lain yang diujarkan.
Psikolinguistik bersifat interdisipliner dan dikaji oleh ahli dari berbagai
disiplin ilmu, seperti psikologi, sains kognisi, dan linguistik.
Jadi,
Neuropsikolinguistik menelaah peran otak dalam pemerolehan, produksi,
pemrosesan, pemahaman, gangguan bahasa, dan studi interdisipliner tentang
kapasitas bahasa otak secara umum.
B.
ORIENTASI
NEUROPSIKOLINGUISTIK
Berdasarkan
pemaduan kedua definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa Neuropsikolinguistik
merupakan bidang kajian linguistik yang berorientasi pada hubungan antara
proses produksi, persepsi, dan pemahaman bahasa, aspek kognisi dalam
pemerolehan / pembelajaran bahasa, dan deskripsi fungsi bahasa otak. Dalam bidang
kajian ini tujuan utamanya adalah untuk menelaah bagaimana in-put dan out-put
bahasa yang diterima otak diproses baik untuk dapat memperoleh, memproduksi,
memahami, maupun menggunakan bahasa.
Aspek lain yang
juga menjadi perhatian neuropsikolinguistik adalah kajian mengenai dampak dari
gangguan pada daerah atau bagian otak tertentu terhadap kapasitas berbahasa
seseorang. Gangguan berbahasa, dalam hal ini umumnya bahasa lisan, akibat rusak
atau cederanya daerah tertentu dalam otak disebut “afasia”. Sudah kegiatan
penelitian yang difokuskan pada pemetaan kerusakan otak untuk memastikan
jenis-jenis gangguan yang ditimbulkannya, termasuk gangguan bahasa. Selain usaha
pemetaan fungsi dan cedera otak, tidak dapat dipungkiri bahwa sudah ada
beberapa kajian yang bernilai terapan, misalnya kajian untuk menelusuri
kemungkinan optimalisasi potensi atau fungsi bahasa hemisfer dalam kegiatan
pembelajaran bahasa, baik bahasa pertama, bahasa kedua, maupun bahasa asing.
Namun, yang menyedihkan
adalah mayoritas ilmuan atau ahli yang jeli atau peka terhadap adanya potensi
yang besar pada fungsi bahasa pada bagian tertentu dalam otak bagi
pemebelajaran bahasa adalah orang-orang yang tidak banyak bergelut dalam bidang
bahasa, baik sebagai praktisi bahasa maupun ahli bahasa (linguis). Hal ini
terbukti dari catatan singkat kisah Neurolinguistik. Misalnya, Broca dan
Wernicle bukan ahli bahasa, tetapi dokter atau ahli bedah. Apakah ahli bahasa
diberi kewenangan hanya untuk menelusuri atau menelaah kaidah-kaidah bahasa? Kalau
memang hanya itu tanggung jawabnya, alangkah terbatasnya ruang gerak mereka.
Perlu disadari
bahwa kesempurnaan ilmu tercapai kalau ilmu tersebut sudah mampu memberikan “nilai
tambah” bagi aspek lahir batin manusia. Munculnya bidang linguistik terapan
yang disebut Neuropsikolinguistik ini bisa menjadi satu wadah bagi usaha
penyempurnaan nilai tambah bagi ilmu bahasa. Oleh karena itu, usaha yang
dirintis oleh ahli-ahli bidang ilmu lain ini perlu disambut baik dan
dikembangkan terus oleh kalangan bahasawan (linguis). Kita sebagai pencinta
atau praktisi bahasa tidak perlu merasa “terkalahkan”. Jembatan sudah dibangun
oleh mereka yang bukan ahli bahasa, kita tinggal berjalan di atas jembatan
yanag sudah ada. Sudah sewajarnya kita memberikan penghargaan yang tulus kepada
para perintis Neuropsikolinguistik.
Komentar
Posting Komentar